KOLONI SOSIAL 'TENTARA SALEB' ABAD 21

Pendahuluan New

رأس اﻷمر اﻻسلام, و عموده الصلاة, و ذروة سنامه الجهاد في سبيل الله
"Pokok segala persoalan adalah Islam, tiangnya adalah sholat, dan puncaknya adalah jihad fi sabilillah."


Benturan besar anatara paham agama yang berbeda merupakan suatu harga mati yang harus dibayar dalam memperjuangkan prinsip yang paling asasi. Bahkan perang menjadi suatu konsekuensi logis dari hasil benturan perbedaan paham tersebut. Namun sayangnya perang bukan satu-satunya strategi untuk memperjuangkan  ajaran agama.
Pristiwa paling terkenal sepanjang masa, yakni perang saleb, dimana perang yang berlangsung selama lebih dari dua abad (antara abad 12 sampai awal abad 14). Telah menyisakan trauma mendalam bagi kubu non-Islam. Karena kekalahan dalam perang tersebut tidak saja memberikan dampak destruktif secara ekonomi dan insfratuktur saja, tapi juga secara moral dan sosio-politik.
Permasalahanya ialah, pasca kekalahan tersebut para 'tentara saleb baru'  telah berhasil menghimpun kembali kekuatan guna menyerang ataupun membalas kekalahan perang secara fisik dengan perang ideologi-budaya. Inilah strategi yang tengah disusun musuh abadi umat Islam, yakni kaum nasrani dan yahudi yang selalu memanfaatkan kelengahan dan kelemahan imperium Islam.
Adapun bentuk perang ideologi-budaya tersebut terwujud pada moralitas dan pola pikir umat Islam yang merasa telah mengikuti tren, namun justru sebenarnya termasuk kelompok fundamental yang primitif (secara moralitas). Ini terlihat pada berbagai lini disiplin ilmu, semisal politik, ekonomi, sejarah, sains, seni dan sosiologi, dimana terjadi dikotomisasi cabang-cabang ilmu tersebut dengan agama sebagai subtansi segala ilmu. Nah, disini penulis ingin mencoba menyajikan pengamatan yang dihasilkan dari observasi terhadap budaya masyarakat di negara penulis.

Kulturisasi Dikotomis

Dan kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (An-Nahl:89)
Pemisahan antara agama dan negara, atau biasa disebut sekuler telah membudaya di negara kita, dimana urusan negara seolah menjadi bagian tersendiri dari ijtihad total para politikus, dan menolak intervensi dari ulama dalam kebijakan birokrasi ataupun legislasi. Disinilah umat Islam terlihat dikebiri identitasnya oleh keubdayaan kafir, dengan memisahkan persoalan dari subtansinya yakni agama. Efek dari ekspansi budaya tersebut dapat dilihat dari hasil yang mengecewakan pemerintahan atau kecewanya rakyat terhadap kebijakan (manuver) para elit politik. Tidak perlu menyalahkan pemerintah dan tidak juga menyalahkan rakyat secara umum, mari kita klarifikasi diri saja, kenapa kita bersikap menerima dan terbuka terhadap budaya yang merugikan kita?
Genosida terhadap Islam yang tengah diupayakan para musuh Islam sangat bervariasi, dan tentulah harus dimasukan kedalam daftar yang perlu diperhatikan bagi setiap umat yang mengaku Muslim. Sebab langkah masif yang dilakukan para orientalis maupun infentari kafir lainnya dalam meng-genosida Islam adalah dengan cara menjauhkan umat Muslim dari soul-nya, salah satunya Al-Qur'an. Karena bagi 'pasukan saleb' yang berperan menjadi orientalis memandang bahwa Al-Qur'anlah yang membawa Islam menghancurkan dua kekaisaran besar dalam waktu yang sangat singkat, dan dengan Al-Qur'an pula umat Islam berhasil membangun psikologi dan interaksi sosial yang belum pernah dimiliki oleh umat manapun di dunia ini. Maka wajarlah kalau para 'tentara saleb' menyusupkan ideologi budaya sekuler ke tubuh Islam yang sebelumnya tidak pernah dikenal sama sekali oleh Islam kecuali sebagai budaya masyarakat pagan primitif.

Spirit yang Dikulkas 

Orang-orang kafir dari ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. (Al-Baqarah:105)
Bisa apa kita bagi umat Islam di Palestine, Irak, Thailand (patani), Panama, Afghanistan, atau yang paling dekat di Poso? berdansa, pacaran, menyia-nyiakan waktu, memakai celana ketat, atau menikmati khamr?  Sebagai eksportir budaya paling aktif dan paling diminati oleh kebanyakan bangsa Indonesia, Amerika terus memberikan produk-produk budaya terbaru. Setelah sebelumnya celana seperempat, kemudian celana setengah, sekarang sudah celana ukuran nol.
 



Sampai kapankah Al-Qur'an hanya akan menjadi hiasan furnitur kita, dan sampai kapan kita akan  membudayakan liberal unlimited (bebas tanpa batas). Padahal telah banyak generasi remaja yang terenggut masa depanya, karena kehilangan rel, dan kita termasuk di area rawan tersebut. Kapankah cita-cita sebagai artis akan tergantikan dengan cita-cita sebagai personal barisan pasukan fi sabilillah? kapan pula kesenangan bertemu artis akan digantikan dengan kesenangan bertemu dengan ulama` dan ahlulbait Rasul. Mungkin semua itu dapat terwujud apabila spirit yang menjadi background kejayaan umat Islam terdahulu diimplementasikan kembali.
Umat yang malu menggunakan atribut Islam saat ini mengindikasikan suatu degradasi yang miris untuk diperlihatkan apalagi dipamerkan. Beruntunglah kita berada di negara yang mayoritas Muslim, bayangkan  dengan atribut Islam saja sebagian umat Islam di negara yang mayoritas muslim sudah terlihat merasa risih, lalu bagaimana dengan teman-teman Muslim kita di negara yang selalu menteror Islam. Terlihat sekali kalau upaya propaganda 'tentara saleb baru' itu telah membuahkan hasil dengan sedikit modifikasi provokasi. Justru kolonialisme sperti inilah (non-perang) yang lebih tidak mudah dibaca geraknya. Sudah saatnya umat Islam menunjuka kedigdayaan kebudayaan original agamanya, yang sudah tentu lebih superior dibandingkan dengan kebudayaan hasil impor. Sebagaimana yang diketahui oleh masyarakat Indonesia bahwa kiblat Muslim wajib menghadap barat bukan di timur (lihat saja Atlas atau Globe). 
   

0 komentar:



Posting Komentar