AL-QUR`AN & DEMOCRATION SYSTEM

Pendahuluan
Berkata dia (Balqis): "Hai para pembesar berilah Aku pertimbangan dalam urusanku (ini) Aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku)".(An-Naml:32)
Pasca reformasi, Indonesia, melalui sistem pemilunya telah menunjukan partisipasi aktif dalam bidang perpolitikan. Meski demikian, mungkinkah penyelenggaraan even pemilu yang memakan dana triliunan rupiah itu harus menjadi sistem permanen bagi pengembangan demokrasi kedepan. Bagaimana pun juga, pemubadziran dana yang begitu besarnya kiranya perlu disikapi secara efisien. Demokrasi sebagai basis haluan sistem politik Indonesia memang sedang mengalami growth yang cukup baik pasca jatuhnya rezim orde baru pada dasawarsa terakhir ini. Namun tampaknya demokrasi kini terlalu subur, bahkan saking suburnya bukan saja para eksekutif atau legislatif yang didemo, pagar-pagar pembatas gedung dan fasilitas pelyanan publik yang tidak tahu apa-apa turut disuruh mempertanggung jawabkan tuntutan para aktivis demonstran.
Belumlah tertib penuntutan terhadap pagar-pagar dan ban-ban, didalam gedung wakil rakyat sendiri banyak yang lempar-lemparan botol, dilanjutkan dengan main pukul-pukulan, dan aneka pertengkaran anak-anak lainnya. Hal ini dan semacamnya tentu mengindikasikan bahwa demokrasi ideal yang dicita-citakan belum kunjung menampakkan wajahnya. Dalam catatan singkat ini penulis mencoba mengintepretasikan mekanisme politik demokrasi dengan wajah yang tentunya tidak harus ekstrem seperti sekarang. Serta beberapa poin dasar yang patut disalahkan dalam sistem demokrasi sekuler sebagaimana yang diterapkan di negara kita.

Demokrasi, bagaimana pengertiannya?
Jika hendak menggunakan pendekatan pada pengertian yang selama ini dikaji berbagai atau bahkan hampir keseluruhan sekolah di Indonesia, maka kita akan menemukan etimologi versi yunani yakni demos yang berarti rakyat dan cratein berarti memerintah, di Jawa sendiri kata cratein ini diadopsi sehingga ada istilah craton atau kraton yang atinya pemerintahan. Kalau dua kata (demos dan cratein) ini digabungkan, berarti rakyat yang memerintah atau pemerintahan rakyat. Kata ini menjadi semakin populer setelah dikuatkan oleh presiden Amerika Serikat (AS) ke-16, Abraham Lincoln yang kurang lebih bunyinya seperti ini; "Government from the people, by the people, and for the people." Artinya begini; "Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat."


Oh begitu tho, tapi kok aneh ya, mosok rakyat memerintah rakyat atau bisa dibilang semua memerintah semua... kan lucu itu namanya?
Hmmm, benar juga ya. Kalau terasa aneh kita ganti saja agar sesuai dengan konteks dari "by the people" atau "oleh rakyat" dengan "by the leader" yang berarti  "oleh pemimpin", jadi lengkapnya begini; "Pemerintahan dari rakyat, oleh pemimpin, untuk rakyat." cocok kan?, gitu aja kok repot, ya intinya pemerintahan dalam sistem demokrasi adalah sistem yang berorientasi pada rakyat.

Berarti kalau begitu semua aturan ditentukan oleh rakyat?
Bisa dibilang begitu, karena pada sistem demokrasi suara mayoritas adalah penentu. Sehingga tidak ada lagi kingdoom centris, yang mana biasanya aturan mutlak dikeluarkan oleh individu tertinggi dalam sistem monarki.

Memang apa kelebihan atau nilai lebih demokrasi dibanding monarki?
Setiap sistem tentu mempunyai kelebihan dan kekurangan, dalam sistem pemerintahan monarki, raja adalah sebagai ruh atau pusat operasional negara. Sehingga segala hal yang didaulatkan raja kepada rakyatnya bersifat absolut. Dengan keadaan demikian tentu raja memiliki kewenangan yang hampir tak terbatas, tentu saja akan baik-baik saja negara ditangan raja yang pandai dan bijak, tapi bagaimana kalau sebaliknya. Sedangkan selain tertutup dari kritik, monarki juga tertutup dalam sirkulasi stratifikasi dalam lingkup pemerintahan, dalam arti tidak membuka kesempatan bagi selain kalangan keluarga raja untuk memmpin negara. Sedangkan demokrasi bersifat sebaliknya.

Jika demikian, monarki buruk adanya?
Sebagaimana sudah saya bilang tadi diatas, setiap sistem tentu memiliki kelebihan dan kekurangan. Kesetabilitasan politik akan berjalan baik selama raja tetap berkompeten. Karena tidak seorang pun didalam negara yang berupaya maju sebagai raja selain kalangan keluarga raja sendiri. Keadaan tersebut tentu menguntungkan bagi kerajaan, sebab selama tidak terjadi perang saudara dalam lingkup internal kerajaan, rakyat akan bersikap lebih loyal daripada dalam sistem demokrasi.

Kalau monarki punya kelemahan dan kelebihan, itu berarti demikian halnya dengan demokrasi tentunya? bisa tolong jelaskan kelemahan demokrasi?   
Kita harus bersikap obyektif dalam menganalisa plus-minusnya atau positif-negatifnya sistem pemerintahan berdasarkan klasifikasinya. Jika kita cermati, akan kita dapati kelemahan demokrasi yang amat mendasar. pertama yakni demokrasi adalah ladang subur bagi serigala berbulu domba yang memangku jabatan sebagai pengemban amanah rakyat. Kenapa dikatakan serigala berbulu domba, karena mereka mengeruk atau memeras rakyat dengan meng-atas namakan rakyat. Misalnya saat mengajukan proposal yang dilakukan kepala daerah ke pusat dengan berlatar belakang  membangun fasilitas publik semacam alun-alun, masjid, jalan raya, dan sebgainya. Dalam imlpementasinya dana yang dioprasikan ternyata tidak sesuai dengan master plan, malah masuk ke anggaran belanja keluarga pejabat yang bersangkutan. Untuk mengatasi pejabat smeacam ini lebih menyulitkan ketimbang pejabat monarki yang jelas-jelas menciptakan sistem kasta sebagai sekat antara rakyat dan bangsawan. Adapun praktik kecurangan yang diupayakan pejabat sebgaimana tersebut diatas akan kerap kita jmupai di  daerah-daerah Indonesia.

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat. (An-Nisa`: 58)
Kemudian yang kedua yakni demokrasi adalah sistem yang membuka peluang bagi legalitas tindakan tidak manusiawi. Disebabkan dalam demokrasi sendiri legislasi berada ditangan rakyat atau manusia banyak, dan dengan suara mayoritas sebagai penentunya. Jika demikian adanya, tentu bisa ditebak bagaimana jadinya kalau dari suara mayoritas itu menghendaki agar hukum yang dikeluarkan berupa tindakan-tindakan yang menguntungkan dirinya sendiri, mengingat manusia memiliki pemahaman terbatas dan ego besar. Misalnya saja belum diaturnya UU atau peraturan tentang hukuman bagi pezina baik sebelum atau sesudah menikah. Ada juga perencanaan pelarangan poligami, sedangkan poligami sendiri berfungsi unuk menekan meningkatnya angka prostitusi, menekan angka sex bebas, mewujudkan sila ketiga dari pancasila yakni "persatuan Indonesia" dengan menjalin kekeluargaan sebanyak mungkin, dan lain sebagainya. Ketika inisatif orang banyak disini tidak merujuk pada hukum yang paling sempurna yakni hukum Allah SWT, maka legalisasi atas aturan-aturan yang justru menyeret kepada degradasi semakin terbuka mengingat banyak kesalahan dalam konsep pemikiran manusia.

Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ? (Al-Ma’idah:50)
Baiknya bagaimana?
Pendapat yang dikemukakan oleh politikus asal pakistan, Sayyid Abu A'la Al-Maududi. Mungkin bisa dijadikan referensi dalam bahasan ini. Macam pendapat tersebut yakni mengenai gagasanya tentang konsep sistem pemerintahan Theo-Demokrasi.


Wah, apaan tuh?
Konsep Theo-Demokrasi yang digagas Abu A'la Al-Maududi itu sendiri berupa pembagian wewenang dalam tugas pemerintahan, setidaknya tugas eksekutif dan yudikatif dikelola dan menjadi kewenangan penuh atas rakyat yang merujuk pada peraturan-peraturan Tuhan sebagai badan legislatifnya. Dengan demikian ada keteraturan dalam mengimplementasikan aturan yang tidak mungkin mengandung kesalahan.