JABIR IBN HAYYAN Al-Kufi

Daerah sungai Nil yang lumpurnya hitam oleh penduduk Mesir disebut ‘Khem’ atau ‘Khmi’, artinya tanah hitam. Ketika Muslim datang ke Mesir pada abad ke-7, mereka sangat tertarik dalam seni pada unsur-unsur tanah hitam yang ditemukannya. Mereka menambahkan awalan Arab ‘al’, maka terukirlah kata ‘al-Khemi’ yang artinya seni daerah aliran sungai Nil Mesir. Kelak, pada pada pertengahan abad ke-16 awalan ‘al’ terlepas sehingga alkemi menjadi kemia dan kimia.
Baru pada akhir abad ke-8 dan selama abad ke-9, ilmuwan Muslim mulai tertarik pada perrkembangan alkemi, ketika sumbangan monumental metode eksperimentasi pertama kali diperkenalkan ke dalam dunia sains. Adalah kota Harran di Syria yang menyaksikan revolusi para intelektual pada awal perkembangan peradaban Islam. Ketika itu Harran sudah masyhur sebagai pusat perkembangan alkemi. Demikianlah, karena Harran sudah menjadi pusat perdagangan logam mulia, belerang, borak dan bahan lain yang lazim dipakai oleh para alkemis.
Adalah para ilmuwan Muslim yang pertama kali memperkenalkan metode eksperimentasi dalam analisis keilmiahan; mereka yang pertama menguji teori-teori dengan tekhnik eksperimentasi. Dalam proses ini ditemukan banyak produk baru, yang namanya dalam bahasa Eropa masih belum bisa lepas dari bahasa Arab: alembic bersal dari al-alambiq; alcohol berasal dari al-kuhul; alkaline berasal dari al-qalawi; arsenic berasal dari al-zirnikh dan sebagainya.
Di masa itulah hidup Jabir Ibn Hayyan al-Kufi (738-813) yang berasal dari Kufa di Iraq dan dikenal di dunia Eropa sebagai Geber (Jeber). Ialah yang pertama menjadikan alkemi dari seni menjadi sains, yaitu dari taraf ‘aurifikasi’ (usaha memproduksi perak atau emas dari logam lain) menjadi kategori eksperimentasi berdasar kuantitatif dengan peralatan yang dibuatnya sendiri. Hingga kini aurifikasi masih ada yang dipakai dalam laboratorium modern.
Jabir Ibn Hayyan membuat instrument pemotong, peleburan dan pengkristalan. Ia menyempurnakan proses dasar sublimasi, penguapan, pencairan, kristalisasi, pembuatan kapur, penyulingan, pencelupan, pemurnian, sematan (‘fixation’), amalgamasi, dan oksida-reduksi. Segalanya ini telah ia lukiskan tekhniknya, praktis hampir semua digunakan sebagai ‘technique’ kimia modern saat ini. Ia membedakan penyulingan langsung dengan bejana basah dan tak langsung dengan bejana kering. Dialah yang pertama kali mengklaim bahwa air hanya dapat dimurnikan melalui proses penyulingan.
Korpus studi kimia Jabir mencakup penguraian metode dan peralatan dari berbagai pengoprasian kimiawi dan fisikawi yang diketahui pada zamannya. Diantara bukunya yang terkenal adalah Al-Hikmah al-Falasafiyah yang telah diterjemahkan kedalam bahasa latin berjudul ‘Summa Perfectionis’.

Apotek, Buah Karya Peradaban Islam


Peradaban Islam dikenal sebagai perintis dalam bidang farmasi. Para ilmuwan Muslim di era kejayaan Islam sudah berhasil menguasai riset ilimiah mengenai komposisi, dosis, penggunaan, dan efek dari obat-obatan sederhana dan campuran. Selain menguasai bidang farmasi, masyarakat Muslim pun tercatat sebagai peradaban pertama yang memiliki apotek atau toko obat.
Sharif Kaf al-Ghazal dalam tulisannya bertajuk The valuable contributions of Al-Razi (Rhazes) in the history of pharmacy during the Middle Ages, mengungkapkan, apotek pertama di dunia berdiri di kota Baghdad pada tahun 754 M. Saat itu, Baghdad sudah menjadi ibukota Kekhalifahan Abbasiyah. ”Apotek pertama di Baghdad didirikan oleh para apoteker Muslim,” ungkap al-Ghazal.
Jauh sebelum peradaban Barat mengenal apotek, masyarakat Islam lebih dulu menguasainya. Sejarah mencatat, apoteker pertama di Eropa baru muncul pada akhir abad ke-14, bernama Geoffrey Chaucer (1342-1400). Ia dikenal sebagai apoteker asal Inggris. Apotek mulai menyebar di Eropa setelah pada abad ke-15 hingga ke-19 M, praktisi apoteker mulai berkembang di benua itu.
”Umat Islam-lah yang mendirikan warung pengobatan pertama,” papar Howard R Turner dalam bukunya bertajuk Science in Medievel Islam . Philip K Hitti dalam bukunya yang terkenal bertajuk History of Arab, juga mengakui bahawa peradaban Islamlah yang pertama kali mendirikan apotek.
”Selain itu, peradaban Islam juga merupakan pendiri sekolah farmasi pertama,” ungkap K Hitti. Ia juga membuktikan bahwa umat Muslim di era kekhalifahan sebagai pencipta pharmacopoeia yang pertama. Perkembangan ilmu farmasi yang begitu cepat, membuat apotek atau toko-toko obat tumbuh menjamur di kota-kota Islam.
Hampir di setiap rumah sakit besar di kota-kota Islam dilengkapi dengan apotek atau instalasi farmakologi. Apotek-apotek itu dikelola oleh apoteker yang menguasai ilmu peracikan obat. ”Kaum Muslimin menyumbang begitu banyak hal terhadap perkembangan apotek atau obat,” ungkap Howard R Turner dalam bukunya bertajuk Science in Medievel Islam .
Di era kejayaan Islam, toko-toko obat bermunculan bak jamur di musim hujan. Toko obat yang banyak jumlahnya tak cuma hadir di kota Baghdad – kota metropolis dunia di era kejayaan Abbasiyah – namun juga di kota-kota Islam lainnya. Para ahli farmasi ketika itu sudah mulai mendirikan apotek sendiri. Mereka menggunakan keahlian yang dimilikinya untuk meracik, menyimpan, serta menjaga aneka obat-obatan.
Pemerintah Muslim pun turun mendukung pembangunan di bidang farmasi. Rumah sakit milik pemerintah yang ketika itu memberikan perawatan kesehatan secara cuma-cuma bagi rakyatnya juga mendirikan laboratorium untuk meracik dan memproduksi aneka obat-obatan dalam skala besar.Keamanan obat-obatan yang dijual di apotek swasta dan pemerintah diawasi secara ketat. Secara periodik, pemerintah melalui pejabat dari Al-Muhtasib – semacam badan pengawas obat-obatan – mengawasi dan memeriksa seluruh toko obat dan apotek. Para pengawas dari Al-Muhtasib secara teliti mengukur akurasi berat dan ukuran kemurnian dari obat yang digunakan.
Pengawasan yang amat ketat itu dilakukan untuk mencegah penggunaan bahan-bahan yang berbahaya dalam obat dan sirup. Semua itu dilakukan semata-mata untuk melindungi masyarakat dari bahaya obat-obatan yang tak sesuai dengan aturan. Pengawasan obat-obatan yang dilakukan secara ketat dan teliti yang telah diterapkan di era kekhalifahan Islam.
Perkembangan ilmu botani dan kimia telah mendorong umat Muslim untuk mengembangkan farmasi. Pada masa itu, ilmuwan Muslim seperti Muhammad ibnu Zakariya Ar-Razi (865-915 M) alias Razes turut mengembangkan pengobatan dengan menggunakan obat-obatan. Selain itu, dokter dan ahli farmasi Muslim lainnya Abul Qasim Az_Zahrawi alias Abulcasis (936-1013 M) juga tercatat sebagai saintis perintis dalam bidang distiliasi dan sublimasi.
Tak cuma itu, Sabur ibnu Sahl (wafat 869 M), juga tercatat sebagai dokter pertama yang mencetuskan pharmacopoedia. Ia telah menjelaskan beragam jenis obat-obatan untuk mengobati penyakit. Saintis Muslim lainnya yang turut menopang tumbuhnya aoptek di era Islam adalah Al-Biruni (973-1050 M). Sang ilmuwan legendaris Islam itu telah menulis buku farmakologi yang sangat berharga bertajuk Kitab As_Saydalah ( Buku tentang Obat-obatan).
Dalam kitabnya itu, Al-Biruni menjelaskan secara detail pengetahuan mengenai peralatan untuk pembuatan obat-obatan, peran farmasi, fungsi serta tugas apoteker. Ia juga menjelaskan tentang apotek. Ilmuwan Muslim lainnya, Ibnu Sina alias Avicenna juga menulis tak kurang dari 700 persiapan pembuatan obat, peralatannya, kegunaan dan khasiat obat -obatan tersebut. Kontribusi Ibnu Sina dalam bidang farmasi itu dituliskannya dalam bukunya yang sangat monumental Canon of Medicine.
Ilmuwan Muslim lainnya yang turut menopang berdiri serta berkembangnya apotek di dunia Islam adalah Al-Maridini dan Ibnu al-Wafid (1008-1074). Kedua karya ilmuwan Muslim itu telah dicetak dalam bahasa Latin lebih dari 50 kali. Kitab yang ditulis keduanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin berjudul De Medicinis universalibus et particularibus dan Medicamentis simplicibus.
”Kaum Muslimin telah menyumbang banyak hal dalam bidang farmasi dan pengaruhnya sangat luar biasa terhadap Barat,” papar Turner. Menurut Turner, para sarjana Muslim di zaman kejayaan telah memperkenalkan sederet obat herbal yang terbukti berkhasiat untuk kesehatan, seperti, adas manis, kayu manis, cengkeh, kamper, sulfur, serta merkuri sebagai unsur atau bahan racikan obat-obatan.
Menurut K Hitti, kemajuan peradaban Islam dalam farmasi dan apotek ditopang oleh banyaknya buku dalam bidang farmakologi yang ditulis ilmuwan Muslim. K Hitti mencatat, buku farmakologi pertama di dunia Islam ditulis oleh Jabir bin Hayyan. Selain itu, ada pula karya al-Razi, Ibnu Sina, Tabari dan d Majusi. ”al-Razi dan Ibnu Sina adalah dua dokter yang paling terkemuka di zamannya,” ujar K Hitti.
Sejak dulu, apotek yang dikelola apoteker merupakan bagian yang tak terpisahkan dari institusi rumah sakit. Hal itu sama halnya dengan farmasi dan farmakologi yang juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ilmu kedokteran. Dunia farmasi profesional secara resmi terpisah dari ilmu kedokteran di era kekuasaan Kekhalifahan Abbasiyah.
Terpisahnya farmasi dari kedokteran pada abad ke-8 M, membuat farmakolog menjadi profesi yang independen dan farmakologi sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Menurut Howard R Turner, praktisi seperti herbalis, kolektor, penjual tumbuhan, rempah-rempah untuk obat-obatan, penjual dan pembuat sirup, kosmetik, air aromatik, serta apoteker merupakan profesi yang menopang geliat farmasi di dunia Islam. heri ruslan
Ilmuwan Muslim Penopang Apotek
  • Abu Ja’far Al-Ghafiqi (wafat 1165 M)
    Ilmuwan Muslim yang satu ini juga turut memberi kontribusi dalam pengembangan farmakologi dan farmasi. Sumbangan Al-Ghafiqi untuk memajukan ilmu tentang komposisi, dosis, meracik dan menyimpan obat-obatan dituliskannya dalam kitab Al-Jami’ Al-Adwiyyah Al-Mufradah. Risalah itu memaparkan tentang pendekatan dalam metodelogi, eksperimen, serta observasi dalam farmakologi dan farmasi.

  • Sabur Ibnu Sahl (wafat 869 M)
    Ibnu Sahal adalah dokter pertama yang mempelopori pharmacopoeia. Kontribusinya dalam bidang farmakologi dan farmasi juga terbilang mata besar. Dia menjelaskan beragam jenis obat-obatan. Sumbangannya untuk pengembangan farmakologi dan farmasi dituangkannya dalam kitab Al-Aqrabadhin.

  • Yuhanna Ibnu Masawayh (777 M – 857 M)
    Orang Barat menyebutnya Mesue. Ibnu Masawayh merupakan anak seorang apoteker. Kontribusinya juga terbilang penting dalam pengembangan farmasi dan farmakologi. Dalam kitab yang ditulisnya, Ibnu Masawayh membuat daftar sekitar 30 macam aromatik. Salah satu karya Ibnu Masawayh yang terkenal adalah kitab Al-Mushajjar Al-Kabir. Kitab ini merupakan semacam ensiklopedia yang berisi daftar penyakit berikut pengobatannya melalui obat-obatan serta diet.

  • Abu Hasan ‘Ali bin Sahl Rabban At- Tabari
    At-Tabari lahir pada tahun 808 M. Pada usia 30 tahun, dia dipanggil oleh Khalifah Al-Mu’tasim ke Samarra untuk menjadi dokter istana. Salah satu sumbangan At-Tabari dalam bidang farmakologi adalah dengan menulis sejumlah kitab. Salah satunya yang terkenal adalah Paradise of Wisdom. Dalam kitab ini dibahas mengenai pengobatan menggunakan binatang dan organ-organ burung. Dia juga memperkenalkan sejumlah obat serta cara pembuatannya.

GHASHB (Merampas)

1. Definisi

Secara etimologis, ghashb adalah bentuk mashdar dari ghashaba asy-syai’ – yaghshibuhughashban, yang berarti mengambil sesuatu secara aniaya/zhalim. Demikian ini pendapat al-Jauhari dalam ibnu sayyidih. (silahkan lihat al-Muhkam, juz V, hlm. 253).
Adapun ghashb secara terminologis, adalah menguasai harta orang lain dengan tidak hak (secara tidak benar). (lihat ibnu Qudamah dalam al-mughni, juzVII, hlm. 360).

2. Dalil Al-Qur`an

Ghashb hukumnya haram berdasarkan al-Qur`an, sebagaimana firman Allah:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." (Surat An-Nisa` [4]: 29)

Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan Aku bertujuan merusakkan bahtera itu, Karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. (Surat al-Kahfi [18]: 79)

3. Dalil Hadits

Dasar dari hadits adalah sebagaimana yang diriwayatkan Imam Muslim yang bersumber dari Jabir bahwa sesungguhnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam khutbah hari raya kurban:

إِنَّ دِمَا أَكُمْ وَأََمْوَ الَكُمْ حَرَامٌ كََحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِيْ بَلَدِ كُمْ هَذَا

“Sesungguhnya darah dan harta kalian adalah haram seperti haramnya hari kalian ini, pada bulan kalian ini, dan di negeri kalian ini.” ( Riwayat Muslim dalam Shahih Muslim juz II, hlm. 886)

Riwayat lain dari Sa’id ibn Zaid, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘laihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنْ اْلأَرْضِ ظُلْمًا فَإِ نَّهُ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِيْنَ

“Barangsiapa mengambil sejengkal tanah secara zhalim, akan dikalungkan baginya tujuh bumi pada hari kiamat.” (Riwayat al-Bukhari, dalam Shahih al-Bukhari, juz III, hlm 170.)

4. Dalil Ijma’

Dasar dari ijma’ adalah bahwa kaum muslimin sepakat mengenai keharaman ghashb secara total, sebgaimana yang dikemukakan Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, juz VII, hlm. 360. Ibnu Hubairah berkata dalam Al-Ifshah juz II halaman 28, “Ulama sepakat bahwa ghashb hukumnya haram.”

5. Cara Mengembalikan Barang Yang Di-Ghashb

Ghashib (orang yang merampas/melakukan ghashb) wajib mengembalikan barang yang ia rampas kepada pemiliknya di tempat ia merampasnya jika memungkinkan. Pemilik barang tidak boleh dipaksa menerima gantinya meskipun ghashib memberikan ganti rugi yang melebihi nilai barang yang dighashbnya berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ahlihii wa sallam:

عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تؤدِّيَهُ

“Pemegang berkewajiban menjaga apa yang ia terima sampai ia mengembalikannya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Biaya pengembalian barang yang di-ghashb menjadi tanggung jawab ghashib. Ia wajib mengembalikannya dengan penambahannya.

HADITS QUDSI BERJIHAD DI JALAN ALLAH

Allah ta'ala berfirman di dalam Hadits Qudsi:
ايما عبد من عبادى يخرج مجاهدا فى سبيلى ابتغاء مرضاتى ضمنت له ان ارجعه ـ إن رجعته ـ بما اصاب من اجر اوغنيمه وانقبضته اناغغرله وارحمه وهدخله الجنة
Hamba-Ku yang mana saja dari (Hamba-Ku) yang menunaikan Jihad pada jalan-Ku karena mengharap dan mencari Keridlaan-Ku, Aku jamin untuk mengembalikannya (jika ia Kukembalikan) dengan segala apa yang didapatnya berupa pahala atau harta rampasan (ghanimah). Dan jika ia Kumatikan (dalam perang sabil itu), ia akan Kuampuni, Kuberi rahmat dan akan Kumasukan ke dalam surga. (HQR: Turmudzi dan Thabrani dari Ibnu Umar)

Ibnu al Atsir (seorang ahli bahasa yang terkenal) telah menerangkan dalam an-Nihayah: "al-Jihad ialah memerangi orang kafir dengan bersungguh-sungguh menghabiskan daya dan tenaga dalam menghadapi mereka, baik dengan perkataan maupun perbuatan."


   

BAPAK KIMIA KLINIK KEDOKTERAN DUNIA & PELOPOR UTAMA FORMAKOGNOSI

ABU BAKR MUHAMAD IBN ZAKARIYA AR-RAZI

Pada abad ke-8 M, hasil karya kedokteran yang sama sekali baru dikenal, telah dilakukan oleh ilmuwan Muslim. Setelah mengkonsolidasi penaklukannya terutama di bagian timur, mereka menggalakkan usahanya menguatkan diri dalam mensintesa kultur klasik dengan kultur wilayah yang ditaklukkan, terutama dalam bidang kedokteran dan biologi. Salah satunya lewat kerja Abu Yahya al-Batriq (w: 802).
Abad ke-10 adalah puncak zaman keemasan peradaban Islam yang muncul dari tiga pusat, yang saling berkembang bebas satu dengan yang lain, yaitu Timur Tengah Mesir, Pantai utara Afrika, dan Spanyol/Andalusia. Dunia Arab mempunyai gaya hidup dan budaya pada zaman itu yang jelas lebih superior daripada kristiani eropa, bahkan juga terhadap kekaisaran Byzantium. Bahasa Arab menjadi “lingua franca” (bahasa internasional) dunia keilmiahan, serta menjadi wahana yang kuat bagi penyatuan dan fusi budaya.
Toleransi Muslim terhadap penganut agama lain dan pertukaran pikiran serta kebebasan melakukan kritik dimapankan sehingga tercapai ikatan kuat antara kedokteran Islam dan kedokteran Israel. Kemudian dengan kedokteran eropa yag melahirkan Fakultas Kedokteran pertama di Eropa, yaitu Salerno di Italia dan Montpellien di Prancis yang kebanyakan memakai buku wajib hasil karya ilmuwan Muslim yang diterjemahkan kedalam bahasa Latin.
Pada abad ke-9 ilmu kedokteran didominasi oleh karya Abu Bakr Muhamad bin Zkariya ar-Razi (865-925). Selain sebagai perintis kedua sesudah Jabir ibn Hayyan dalam ilmu kimia, ar-Razi lah yang memapankan wajah awal pada ilmu kedokteran: yaitu kecenderungan memadukan bentuk risalah dan ensiklopedi, ikatan struktural dengan metafisika dan alkemi, tekhnik klinik dalam kedokteran dan sumbangan khusus dalam bidang epidemologi.
Monograf ar-Razi berjudul al-Judari wal Hasbah, merupakan risalah kimia klinik kedokteran pertama di dunia yang memuat tentang cacar dan campak. Karenanya, sejak diterbitkan ia menjadi mutiara kepustakaan ilmu kedokteran Muslim. Karyanya telah diterjemahkan dalam bahasa Latin di Venizia (1565) dengan judul De variolis et morbilis (Risalah tentang cacar dan campak) dan kemudian ke dalam beberapa bahasa modern yang kelak membangkitkan entusiasme baru dalam bidang kedokteran pada abad ke-18. Risalah ini memapankan ar-Razi sebagai pemikir orisinil yang tajam dan menjadi bapak kimia klinik kedokteran. Ia yang pertama di dunia yang membedakan kedua penyakit itu dan memberikan pembahasan secara rinci.
Karyanya yang lain dengan judul al-Hawi. Pertama kali diterjemahkan ke dalam Latin pada 1279 dengan judul Totum Continens, cetakan kelima diterbitkan di Venezia (1542). Buku itu merupakan ensiklopedi dalam bidang kedokteran yang terdiri dari 24 jilid. Dan berabad-abad lamanya dijadikan dasar ilmu kedokteran di dunia barat Laitn. Ar-Razi dalam karyanya membahas antaralain tentang abses ginjal, muntahan aorta optalmia, hemoptises (muntahan darah), serta kebotakan sementara dan permanen.