KRITERIA PEMIMPIN POLITIK DALAM ISLAM

KRITERIA PEMIMPIN POLITIK DALAM ISLAM



خيار أئمتكم : الذين تحبو نهم ويحبو نكم، ويوصلون عليكم وتصلون عليهم.
"Pemimpinmu yang terbaik adalah yang kamu senangi dan yang menyenangimu, yang mendoakanmu dan yang kau doakan." (HR.Muslim bab َفِيْ خِيَارِاْ ئِمَّةِ وَشِرَا رِهِمْ)
Jabatan pemerintahan atau kepemimpinan timbul dari keharusan hidup bergaul bagi manusia, dan didasarkan pada penaklukan dan paksaan, yang merupakan manifestasi dari sifat-sifat alamiah. Setiap orang akan melakukan tindakan untuk memperoleh kebutuhan-nya dari orang lain. Karena sudah menjadi naluri hewani yang ada dalam manusia untuk berlaku zalim dan agresif, maka orang yang akan dirugikan, pihaknya berusaha menghalangi hal demikian. Semua itu digerakkan oleh rasa amarah, benci, dan sebagai reaksi manusia bila hak miliknya terancam. Maka terjadilah pertikaian yang menimbulkan permusuhan, dan permusuhan menimbulkan kekacauan, pertumpahan darah, yang pada gilirannya dapat sampai pada pemusnahan umat manusia itu sendiri. Padahal, sebagaimana diketahui, manusia adalah salah satu makhluk istimewa yang diperintahkan Tuhan untuk dipelihara. Manusia tidak mungkin dapat melangsungkan hidupnya dalam situasi anarki, tanpa kepala negara yang dapat menjaga kelangsungan hidup mereka. Oleh karena itu mereka memerlukan seorang pengendali. Orang itulah yang disebut pemerintah. Tetapi sebagaian besar peraturan pemerintah menyimpang dari keadilan dan menekan kepentingan duniawi rakyat, yang dibebani bermacam-macam peraturan berat agar pihak penguasa bisa mencapai keinginan dan tujuannya. Peraturan-peraturan itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan tujuan pemerintah yang silih berganti. Maka sukarlah jadinya mematuhi peraturan yang demikian itu, dan akibatnya banyak terjadi pemberontakan-pemberontakan yang akhirnya akan membawa kekacauan dan binasanya jiwa.
Oleh karenanya adalah menjadi keharusan menetapkah hukum politik yang bisa diterima dan diikuti rakyat, sebagaimana yang terjadi pada negara-negara besar terdahulu. Tidak ada suatu negara bisa tegak tanpa hukum demikian itu.
Apabila hukum itu dibuat oleh para terkemuka, bijaksana, dan orang-orang cerdik bangsa itu, maka pemerintahan itu dikatakan berdasar kepada akal; sedangkan apabila hukum-hukum itu ditentukan oleh Allah dengan perantaraan seorang Rasul, maka pemerintahan tersebut berdasarkan agama. Dan pemerintahan agama yang demikian itu berguna sekali, baik untuk hidup di dunia maupun kelak di akhirat. Sebab manusia bukan saja dijadikan untuk kehidupan dunia ini, yang kemudian mati dan sirna belaka. "Apakah kamu mengira bahwa Kami menjadikan kamu dengan sia-sia." (al-Mukminun:115)
أَفَحُكْمَ الْجَهِلِيَّةِ يَبْغُونَج وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِّقَومٍ يُوقِنُونَ {المائدة}
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin." (Al-Maidah:50)
Betapa pentingnya keberadaan pemerintahan sebagaimana telah dipaparkan, tentu mengharuskan pemilihan seorang pemimpin tidak bisa dianggap remeh begitu saja. Islam sebagai rohmat untuk seluruh alam yang mengatur segala aspek kehidupan sampai yang terkecil, sudah tentu tidak mengabaikan persoalan yang sedemikian prioritasnya tersebut.  
Dalam fiqh siyasah, dikatakan bahwa penyebutan kata imam terdapat sekitar 12 kali dalam Al-Qur`an,  baik dalam bentuk mufrad/tunggal, maupun dalam bentuk jamak, atau yang di-idhofah-kan. Pada umumnya kata-kata imam menunjukan bimbingan kepada kebaikan, meskipun kadang-kadang dipakai untuk seorang pemimpin suatu kaum dalam arti yang tidak baik, seperti;
QS.at-Taubah:12
فَقَاتِلُوْا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ {التوبة}
 Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang kafir itu.
 QS.al-Qashash:41
Ayat yang menunjukan imam sebagai ikutan yang baik disebut didalam:
1. QS.Yasin:12
أَحْصَيْنَهُ فِي إِمَامٍ مُّبِيْنٍ {يس}
 kami kumpulkan dalam Kitab induk yang nyata (Lauh mahfuzh)
2. QS.al-Baqarah:124
إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا {البقرة}
 Sesungguhnya kami akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.
3. QS.al-Hijr:79
وَإِنَّهُمَا لَبِإِمَامٍ مُّبِينٍ {الحجر}
dan Sesungguhnya kedua kota itu benar-benar terletak di jalan umum yang terang.

4. QS.al-Ahqaf:12
كِتَبُ مُوسَى إِمَامًا وَرَحْمَةً {الأحقاف}
Kitab Musa sebagai petunjuk dan rahmat
5. QS.Huud:17
كِتَبُ مُوسَى إِمَامًا وَرَحْمَةً {هود}
Kitab Musa sebagai petunjuk dan rahmat
6. QS.al-Furqan:74
وَا جْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا {الفرقان}
  dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.
7. QS.al-Anbiya:73
وَجَعَلْنَهُمْ أَئِمَّةً {الأنبياء}
 Kami Telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin
8. QS.al-Qashash:5
وَنَجْعَلَهُمْ أَئِمَّةً وَنَجْعَلَهُمُ الْوَرِثِينَ {القصص}
dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi)
9. QS.al-Isra`:71
يَوْمَ نَدْعُوا كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَمِهِمْ {الإسراء}
(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya
10.QS.as-Sajadah:24
وَجَعَلْنَامِنْهُمْ أَئِمَّةً {السجدة}
Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin 
  
Selain disebutkan pada Al-Qur`an, dalam banyak hadits juga diterangkan mengenai pemerintahan, baik pemerintahan yang bagus (Good Governance), maupun pemerintahan yang buruk. Dalam fiqh siyasah dikenal beberapa kecacatan kriteria pemimpin yang salah satunya digambarkan oleh Al-Mawardi dalam kitabnya al-Ahkam al-Sulthaniyah dengan skema terjemahan sebagai berikut;
IMAM
I.Cacat pada keadilan (fasiq)
  1. Mengikuti syahwat dan ini berhubungan dengan perbuatan anggota badan, yaitu melakukan yang dilarang dan memperbuat yang mungkar menurut syahwat dan hawa nafsu seperti zina, qadzaf.
  2. Yang berhubungan dengan itikad yang ditakwilkan 
II.Cacat pada badannya
  1. Panca indra buta, tuli, bisu.
  2. Anggota badan yang menghalangi untuk bekerja seperti hilang kedua tangan atau kedua kakinya
  3. Tasaruf Hjjr, dilarang melakukan tindakan hukum berdasarkan keputusan pengadilan (dalam pengampunan).
Seorang imam harus diberhentikan apabila terjadi padanya No I: 1, No II: 1, 2, dan 3. Adapun selainnya diperselisihkan, demikian menurut al-Mawardi.
            Selain yang dikemukakan oleh al-Mawardi diatas, Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimah-nya menyebutkan ada empat prasyarat sebagai seorang imam dan ditambah satu syarat lagi, hal tersebut dapat dilihat dalam skema yang telah disusun dan diterjemahkan seperti yang dapat dilihat dibawah ini:
IMAM
P r a s y a r a t
1.      Berpengetahuan
2.      Berkeadilan
3.      Kesanggupan
4.      Kebebasan panca indra dan anggota badan dari cacat yang dapat berpengaruh terhadap pendapat dan tindakan.
5.      Serta dari keturunan Quraisy
(1)   Prasyarat (tentang) pengetahuan kiranya sudah cukup jelas. Seorang imam hanya dapat melaksanakan hukum-hukum Allah apabila menguasai hukum itu. Yang tidak dia ketahui, tidak akan dapat dikemukakan secara tepat. Pengetahuannya baru akan memuaskan apabila dia mampu mengambil keputusan secara bebas (mujtahid).
(2)   Keadialan perlu karena imamah merupakan lembaga yang mengawasi lembaga lain, tempat yudikatif juga menjadi prasyarat. Maka sangat utamalah kiranya keadilan menjadi prasyarat  di dalam lembaga imamah. 
(3)   Kesanggupan berarti, bahwa imam bersedia melaksanakan hukum yang ditetapkan undang-undang dan siap berperang. Dia harus cukup kuat untuk melaksanakan tugas politik. Semua itu harus dimiliki supaya ia mampu melakukan fungsi-fungsinya melindungi agama, berjihad melawan musuh, menegakkan hukum, dan mengatur kepentingan umum.
(4)   Bebasnya panca indra dan anggota badan dari cacat atau kelemahan seperti gila, bisu, buta, atau tuli, dan kehilangan anggota badan yang mengganggu kesanggupan bertindak seperti hilang tangan, atau kaki, semua itu dijadikan prasyarat karena kekurangan demikan berpengaruh pada kemampuan bertindak.
(5)   Prasyarat keturunan Quraisy adalah didasarkan kepada hadits dan ijma` para sahabat pada hari saqifah yang bersejarah. Pada hari itu kaum Anshar bermaksud membai'atkan sa'd ibn 'Ubaidah. "Dari kami seorang amir dan dari kalian seorang amir (lain)!" seru mereka. Namun kaum Quraisy menentang mereka dengan mengutip sabda Nabi yang mewasiatkan mereka supaya "berbuat baik kepada semua kaum Anshar yang berbuat jahat." Orang-orang Quraisy yang ada ketika itu mengatakan, jika imamah (tampuk kepemimpinan) harus diberikan kepada kaum Anshar, tentu yang belakangan ini tidak diwasiatkan Nabi supaya dijaga oleh kaum Qurasiy. Argumen tersebut diterima oleh kaum Anshar dan mereka menarik kembali pernyataan mereka. Dalam banyak hadits Nabi, diterangkan mengenai hal tersebut antaralain:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. dia berkata:
قال رسول الله صلّى الله عليْه وسلم: النَّاسُ تَبَعٌ لِقُرَيْشٍ فِيْ هَذَا الشَّأْنِ
Rasulullah Saw. pernah bersabda, "Orang-orang itu tunduk kepada orang Quraisy dalam urusan pemerintahan. (HR. Bukhari dan Muslim)
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a. dia berkata:
قال رسول الله صلّى الله عليْه وسلم: لاَيَزَالُ هَذَا اْلأَمْرُ فِيْ قُرَيْشٍ
Rasulullah Saw. pernah bersabda, "Masalah ini (urusan pemerintahan) selalu dipegang oleh orang Quraisy. (HR. Bukhori dan Muslim)
Apabila kita telaah hikmah dari dijadikannya keturunan Quraisy sebagai prasyarat dalam imamah, dan tujuan yang dimaksud oleh Si pemberi Syari'at (yakni Rasulullah Saw) darinya, kita akan tahu bahwa dibalik itu tidak semata terkandung berwasilah dengan Nabi, seperti banyak dikatakan orang. Wasilah (hubungan keturunan dengan Nabi) memang ada jika jelas seseorang berasal dari keturunan Quraisy, sebab Nabi sendiri berasal dari keturunan itu. Wasilah demikian merupakan tabarruk bagi orang yang punya wasilah demikian. Namun, seperti diketahui, tabarruk bukanlah tujuan syariat. Jika keturunan tertentu dijadikan prasyarat imamah, tentunya harus ada maslahah umum di balik penetapan tujuan demikian. Namun, apabila persoalan itu kita teliti dan kita analisa, kita akan mendapati bahwa maslahah umum dimaksud tidak lain diungkapkan dalam solidaritas sosial, ashabiyah yang dimiliki para imam keturunan Arab. Solidaritas itu memberikan perlindungan dan tuntutan, serta dapat melepaskan sang imam atau pemimpin dari oposisi dan perpecahan. Agama dan pemeluknya tentu dapat menerima dia beserta keluarganya, dan dia pun dapat mengadakan hubungan yang akrab dengan mereka (rakyatnya).
Sekiranya pemerintahan diserahkan kepada pihak lain di luar mereka (keturunan Quraisy), pastilah pertentangan dan ketidaktaatan akan merusak segala-galanya. Tak ada satu pun yang akan sanggup menyelesaikan sikap oposisi, serta menarik mereka tanpa kemauan mereka sendiri. Jika demikian adanya maka masyarakat Islam tentu akan terpecah-belah dan akan sangat sedikit memiliki kesatuan pendapat. Padahal Nabi, sebagai pembuat undang-undang syariat, telah memperingatkan pentingnya semua itu. Beliau ingin agar mereka (umat Islam) bersatu, menghindari perpecahan dan kekacauan, demi terciptanya persaudaraan, solidaritas, dan membaiknya himayah atau perlindungan.
Apabila orang-orang dari keturunan Quraisy yang berkuasa, jelas kenyataan sebaliknya yang akan terjadi. Dengan kekuatan yang ada, mereka akan sanggup menyuruh manusia melakukan apa saja sekehendak mereka. Mereka tak khawatir akan munculnya orang yang menentang mereka. Dengan kekuasaan yang ada, mereka sanggup melenyapkan perpecahan. Itulah sebabnya kemudian keturunan Quraisy dijadikan prasyarat bagi 'lembaga imamah'.
Kini jelaslah bagi kita bahwa dijadikannya keturunan Quraisy sebagai satu prasyarat dalam imamah dimaksudkan untuk melenyapkan perpecahan dengan bantuan solidaritas (ashabiyah) dan superioritas. "Allah memberikan kekuasaan kepada siapa yang dikehendaki-Nya." (al-Baqarah ayat 247)
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.(Al-Ahzab:36)

Mengenai pemimpin korup
Diriwayatkan dari Abu Hurairoh r.a. (Abdurrahman bin Shakhr al-Azdi: عبد الرحمن بن صخر الأذدي), dia berkata: Pada suatu hari Rasulullah Saw. berdiri ditengah kami lalu beliau menuturkan masalah korupsi/kecurangan غُلُوْلَ. Beliau menuturkan bahwa korupsi  adalah masalah besar dan besar pula akibatnya. (HR.Al-Bukhori, nomor hadits 3073) 
Besarnya budaya koruspsi dan munculnya figur-figur pemimpin yang "kontroversial", adalah karena adanya dikotomi antara pemerintahan dengan agama. Padahal Syariah itu adil sebagaimana diingatkan oleh Ibnu Qoyyim; agama adalah keadilan, agama adalah rahmat, agama adalah maslahat, dan hikmah. Setiap hal yang berlawanan dengan keadilan akan menjadi kesewenang-wenangan, hal yang berlawanan dengan rahmat akan menjadi bencana, hal yang berlawanan dengan maslahat akan menjadi mafsadah,  dan hal yang berlawanan dengan hikmah akan menjadi kesia-siaan.

Lampiran I

 KPU/NO.15/2008/Ttg Pedoman Pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah/
Bagian Kedua
Persyaratan Bakal Pasangan Calon
Pasal 8
  1. Bakal Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Warga Negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat :
  • a. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
  • b. setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah;
  • c. berpendidikan sekurang-kurangnya Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan/atau sederajat;
  • d. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun bagi calon Gubernur/Wakil Gubernur dan berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun bagi calon Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota, pada saat pendaftaran;
  • e. sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter;
  • f. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
  • g. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
  • h. mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya;
  • i. menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan;
  • j. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara;
  • k. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
  • l. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); atau bagi yang belum mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran pajak;
  • m. menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayatpendidikan dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri;
  • n. belum pernah menjabat sebagai Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;
  • o. tidak dalam status sebagai Penjabat Kepala Daerah;dan
  • p. mengundurkan diri sejak pendaftaran bagi Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah yang masih menduduki jabatannya 

Lampiran II
PIDATO KHALIFAH ABU BAKR AS-SHIDIQ


أَيُهَا النَّاسُ قَدْوُلِّيْتُ عَلَيْكُمْ وَلَسْتُ بِجَيْرِكُمْ فَإِنْ أَحْسَنْتُ فَأَعِيْنُوْ نِيْ وَإِنْصَدِفْتُ فَقَوِّمُوْنِيْ الصِّدْقُ أَمَانَةٌ وَالْكِذْبُ خِيَانَةٌ وَالضَّعِفُ فِيْكُمْ قَوِيٌّ عِنْدِيْ حَتَّى آخُذَ لَهُ حَقَّهُ وَالْقَوِيُّ فِيْكُمْ ضَعِيْفٌ عِنْدِيْ حَتَّى آخُذَ الْحَقَّ مِنْهُ إِنْ شَاءَ اللهُ لاَيَذْعُ اَحَدٌ مِنْكُمُ الْجِهَادَ فَإِنَّهُ لاَيَدْعُهُ قَوْمٌ إِلاَّ ضَرَبَهُمُ الله بِالذُّلِّ أَطِيْعُوْنِيْ مَا أَطَعْتُ الله وَرَسُوْلَهُ فَإِذَا عَصَيْتُ الله فَلاَ طَاعَةَ لِيْ عَلَيْكُمْ.

Artinya: "Wahai manusia, sesungguhnya aku dijadikan penguasa atas kalian, bukan berarti aku yang paling baik diantara kalian, maka jika aku melakukan kebaikan, tolonglah aku. Dan jika aku melakukan penyimpangan, cegahlah aku. Kejujuran itu merupakan amanat dan kebohongan adalah khianat. Adapun orang-orang yang lemah di antara kalian justru kuat di hadapanku sampai aku dapat mengembalikan hak-haknya. Sedangkan orang-orang yang kuat di antara kalian justru lemah dihadapanku, sampai aku mengambil hak-haknya. Jangan sampai seorang diantara kalian meninggalkan jihad, karena tidak ada satu kaum pun yang meninggalkan jihad, melainkan Allah berikan (jadikan) kehinaan bagi mereka. Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka apabila aku menentang Allah, tidak ada kewajiban kalian mematuhiku…" (Itmamul-Wafa' fi Siyratil-Khulafa' hal. 16).